-->

Pemimpin, Haruskah Bersaing dengan Yang Dipimpin?

Monday, January 14, 2008

Sebuah potret budaya atau sekedar kebiasaan kita?
Jawaban untuk pertanyaan Mas DaniBoy


“Pak Cuk, "loby-loby" di dapur koq nggak di sebut2...?? he he he…” Ini adalah comment dari Mas Dani pada tulisan saya yang di post di blog IATMI Kuwait beberapa waktu lalu. Iya ya… kenapa saya nggak sebut-sebut, padahal bisa aja bakalan menjadi camilan yang renyah bagi teman-teman untuk menemani minum teh disore hari. Berangkat dari pemikiran inilah akhirnya saya mulai menulis artikel ini.

Ketika mengetahui mendapatkan undangan makan malam bersama Bapak Duta Besar, saya mulai mikir-mikir. Apa ya yang bisa disampaikan/dibicarakan dengan Bapak Duta Besar, yang akan ada manfaatnya utuk kita pegawai KOC khususnya dan anggota IATMI Kuwait pada umumnya. Maka saya pun mulai mengumpul-kumpulkan data. Salah satu diantaranya adalah daftar teman-teman calon pegawai KOC yang masih belum bisa berangkat. Selain itu dibenak saya juga ada beberapa hal yang lain seperti banjir di Sragen yang memerlukan bantuan, gimana cara mendapatkan dana/bantuan untuk beasiswa mahasiswa yang kurang mampu, dan juga rencana kerja IATMI Kuwait.

Sudah cukup. Siap untuk bertemu Bapak Duta Besar.

Namun saya ini memang barangkali bukan tipe ideal cetakan pemimpin. Lha harus bagaimana. Walaupun sudah dipilih menjadi Ketua IATMI Kuwait, tetap saja saya ini... ya... begini. Sulit ya berubah itu. Saat ramah-tamah sebelum makan malam, cukup banyak waktu tersedia. Apalagi oleh Pak Dino saya didudukkan pas disebelah Bapak Duta Besar. Eee.... lha kok saya juga gak bisa menyampaikan hal-hal yang sudah saya siapkan. Hampir sih keluar dari mulut ini... tapi..... entah bagaimana, dengan berbagai alasan yang mungkin konyol, saya tetap saja tidak bisa menggunakan kesempatan ini dengan baik. Saya belum berhasil menyampaikan hal-hal yang ingin saya sampaikan. Terus terang dalam hal ini saya ngiri sama Mas Ridwan. Beliau itu luar biasa, nggak pernah kehabisan bahan. Dari masalah kesehatan, kewartawanan, bahkan sampai ke ultahnya Titik Puspa. Semua dilahap Mas Ridwan dengan sangat lancar. Sedang saya, mlongo saja. Hmh....

Sampailah pada acara makan malam. Nah disini saya lebih konyol lagi. Saya malah sibuk mempersilakan teman-teman semua ambil piring dulu. Ketika sadar Pak Dino mempersilakan saya ambil piring, ternyata memang tinggal saya, Pak Dino, dan Pak Darmawan, dua-duanya staff kedutaan. Karena sudah tidak ada yang lain lagi, saya tidak bisa nolak. Sayapun ambil piring. Nasi, gulai ayam, tumis kacang panjang, karak, dll... Tapi ups,... mau duduk dimana? Semua meja udah penuh. Apalagi berharap satu meja dengan Bapak Duta Besar, gak mungkin. FULL !!!. Bersyukur ahirnya kami bertiga, saya, Pak Dino, dan Pak Darmawan menemukan tempat yang juga cukup representatif, di dapur (mohon maaf kepada pihak KBRI kalau saya salah sebut, tapi sepertinya sih iya...).

Sibuk makan, bercanda, menikmati candil, martabak mini, sampai onde-onde mbolin + serbat hangat. Cukup lah kalaupun nggak bisa jadi bisa menyampaikan hal-hal yang sudah saya siapkan kepada Bapak Duta Besar.

Beruntung setelah makan malam masih ada kesempatan ramah tamah lagi. Dengan bantuan Pak Dino akhirnya saya mendapatkan waktu untuk berbicara. Sayang memang mungkin karena udah kenyang, yang bisa saya sampaikan hanya mengenai calon pegawai KOC yang belum bisa berangkat dan rencana IATMI (dan KIE) untuk menghadap menyampaikan program-program kita. Dah... pulang.

Tapi.... pertanyaan Mas Dani membuat saya jadi berfikir. “Pak Cuk, "loby-loby" di dapur koq nggak di sebut2...?? he he he…” Apa jawabanya ya... Eh gini aja. Mas Dani, barang yang didapur ya memang tidak untuk publish dong. Masak bawang merah, terasi, krupuk mentah, santan kaleng, dll mau disebut-sebut. Yang disebut-sebut ya yang disajikan dimeja makan. Nah kalau yang itu sudah saya lakukan. Ya kan.

Hanya saja saya jadi berfikir lagi. Kalau saja, seandainya, kita mendapatkan kesempatan lagi diundang makan malam bersama Bapak Duta Besar, apa yang harus saya lakukan agar bisa mendapatkan keleluasaan menyampaikan hal-hal yang memang seharusnya saya sampaikan kepada Bapak Duta Besar, sambil santai menikmati hidangan dimeja makan? Apakah saya harus bersaing dengan teman-teman ya untuk berebut piring agar bisa semeja dengan Bapak Duta Besar?

Saya baru mengerti sekarang, mungkin itulah barangkali sebabnya mengapa dinegara kita, kita selalu dengar nguing...nguing..... disetiap kali ada pejabat mau lewat, dan kita dipaksa minggir. Juga ada pejabat protokoler yang memastikan pejabat mendapatkan tempat istimewa (atau yang semestinya?). Dan diacara pesta kawinan tetangga saya, juga dibentuk panitia. Salah satu panitia adalah penerima tamu, yang bertugas mengarahkan tamu agar bisa duduk ditempat yang diharapkan (atau sesuai?).

Pertanyaanya adalah, mengapa mesti begitu? Mengapa mesti ada nguing...nguing, protokoler, dan penerima tamu? Mungkin jawabannya adalah ini. Kalau tidak ada mereka, maka kita (yang telah memilih pemimpin) tidak akan dengan rela membiarkan pemimpin kita mendapatkan tempat yang selayaknya. Maka itulah yang terjadi, sayapun duduk didapur. Ngalor-ngidul, ya gimana mau dipublish, yang minjam istilahnya Mas Dani ”mau disebut-sebut?”.

Inikah potret budaya kita? Atau ini hanya sekedar kebiasaan kita. Tapi bukankah budaya itu juga merupakan kumpulan dari kebiasaan-kebiasaan kita yang sudah kita lakukan bertahun-tahun? Apakah ini ada hubungannya dengan kenyataan bahwa negara kita sulit maju? Wallohua alam.

Mari kita perbaiki diri kita, dan keluarga kita. ”Kuu anfusakum wa ahlikum naaro”. Jagalah dirimu, dan keluargamu dari api neraka.

Salam IATMI Kuwait,
cuk suryanto

1 comments:

Unknown said...

No Comments aach...
Nanti komen2 Saya dijadikan bahan tulisan lagi...
Tp menurut Saya, harusnya ya nggak perlu bersaing Pak antara Pemimpin dan Rakyatnya... harusnya selaras, kompak, maju bersama...